Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Sabtu, 28 Januari 2012

Penerapan Bioteknologi Reproduksi pada Sapi Perah

Ditulis Oleh drh. M. Arifin Basyir
Melanjutkan tulisan tentang Bioteknologi Reproduksi, bahwa masih terdapat fenomena mengapa sapi perah produksi tinggi sulit berkembang biak. Beda dengan fenomena 1, 2 dan 3 yang berhubungan dengan sistem hormonal atau endokrinologi reproduksi. Pada fenomena 4 ini berhubungan dengan perubahan beban fisiologis sapi perah sehubungan dengan produksi susu yang tinggi itu. Adapan lebih jelasnya adalah sebagai berikut.


(4). Dalam menjalankan atau menjalani satu siklus reproduksi (satu calving interval) sapi perah. Setelah melahirkan sapi memasuki periode laktasi dan 'days open'. Hari kosong yang lamanya 2 minggu ini uterus mengalami involusi, kembali ke normal mempersiapkan bunting berikutnya. Terdapat 2 beban fisiologis pada periode ini adalah beban fisiologis untuk hidup pokok dan laktasi. Setelah dua bulan sapi harus bunting lagi dan memasuki awal puncak laktasi, sehingga menanggung 3 beban fisiologis, yaitu hidup pokok, puncak laktasi dan bunting.

Memasuki bulan ke 7 kebuntingan sapi dikeringkan (kering kandang selama kira-kira 2 bulan), sehingga beban fisiologis menjadi 2 lagi yaitu hidup pokok dan bunting tua. Artinya selama satu kali siklus reproduksi yang lamanya kira-kira satu tahun, sebagian besar waktu hidup sapi yaitu sekitar 8 bulan harus menanggung 3 beban fisiologis sekaligus yang nota bene sangat berat menuju puncak laktasi dan bunting tua, apalagi sapi perah produksi tinggi.

Konsekuensi dari fenomena ini adalah harus tersedia pakan yang lebih dari cukup (meningkat lebih banyak dari biasanya) dan berimbang secara kwalitatif maupun kwantitatif. Meskipun manajemem mampu memenuhi kebutuhan pakan sesuai dengan perhitungan yang mungkin meningkat 2-3 kali dari biasanya. Perlu diingat bahwa kemampuan sapi menghabiskan pakan tidak sebanding dengan jumlah pakan yang harus dihabiskan pada periode itu. Selain tidak cukup waktu meskipun diberikan secara ad libitum, harus diingat bahwa sapi membutuhkan waktu untuk mengunyah ulang/memamah biak.

Di lain pihak kapasitas perut sapi juga terbatas, apalagi sudah terdapat sisa-sisa serat kasar pakan yang tidak tercerna dan menumpuk memenuhi sebagian rongga rumen sehingga kapasitas makin berkurang. Sebagai akibat adalah sapi mengalami malnutrisi dengan segala akibatnya penyakit defesiensi dan penyakit metabolik. Antara lain ketosis, hipokalsemia atau milk fever dan sejenisnya. Akibat lebih lanjut adalah paresis, paralisis sapi ambruk dengan segala komplikasi yang menyertai, diantaranya anoreksia, kembung, pneumonia
.

Kelihatannya 'aneh' sapi menderita nafsu makan menurun, akibat 'kekurangan' pakan. Tapi begitulah kenyataannya.Sangat sulit mengatasi kondisi semacam ini karena terdapat faktor kausatif yang komplek berakibat komplikasi. Ujung-ujungnya dari kasus ini adalah sapi harus dipotong paksa atau bahkan kedahuluan mati sia-sia.

Dapat disimpulkan bahwa sapi perah produksi tinggi, bukan hanya sulit berkembang biak tapi bahkan sulit untuk mempertahankan hak hidupnya. Karena itu jangan biarkan kasus itu terjadi, lebih baik mencegah daripada mengobati. Caranya adalah kurangi beban fisiologisnya dengan tidak memberi kesempatan bunting, tetapi tetap mempunyai anak keturunan, berikan status sebagai induk donor (induk genetis, induk biologis) melalui pemberdayaan penerapan bioteknologi reproduksi sebagaimana diuraikan pada tulisan terdahulu. (bersambung...)


Bioteknologi Reproduksi 

Ditulis Oleh drh. M. Arifin Basyir
Rabu, 04 Maret 2009
   
 Terdapat fenomena alam yang juga menjadi tulisan oleh rekan sejawat sbb
1. Pada induk yang sedang laktasi khususnya sapi perah berproduksi tinggi, kadar hormon LTH atau prolaktin yang tinggi dalam darah mendorong terbentuknya corpus luteum (CL) persisten sebagai lanjutan dari CL gravidatum. Keadaan ini menyebabkan hormon progesteron meningkat sehingga tidak tumbuh folikel baru dan tidak diekskresikannya estrogen sehingga terjadi anestrus, dst (Mulianti. My life, myfeeling, my way. Blog Archieve for Juli 2007)
2. Puncak laktasi sangat berhubungan dengan produksi susu dan jumlah produksi susu memiliki hubungan positif dengan peningkatan hormon prolaktin. Kondisi prolaktin yang tinggi menyebabkan suasana progesteron meningkat sehingga estrogen menjadi rendah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap aktualisasi estrus, dst (Bambang Hadisutanto. Study on Several Reproductive Performance of various Parities in Days Open Formulation of Fries Holland Dairy Cows. Case in Rural Dairy Farm, Lembang, west Bandung)
Kesimpulan : Dari dua pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa sapi perah produksi tinggi, sangat sulit untuk berkembang biak. dengan perkataan lain selama berproduksi mengalami infertilitas atau sub fertilitas. Sehingga tidak mungkin tercapai calving interval yang normal (kira-kira satu tahun).
3. Sapi perah produksi tinggi sulit berkembang biak juga dapat difahami selain karena proses pembentukan susu atau laktogenesis/milk production tsb diatas juga karena proses pengeluaran susu atau laktoscresis/milk letdown. Pada milk let down berhubungan dengan oksitosin. Logikanya semakin banyak produk susu yang harus dikeluarkan semakin tinggi oksitosin yang dibutuhkan. Di lain fihak oksitosin mempunyai target organ dalam kontraksi uterus. Kontraksi uterus yang intensif karena oksitosin yang tinggi inilah yang menggagalkan implantasi embrio, sehingga sulit bunting atau sulit berkembang biak.
Pada fenomena ke-3 bioteknologi reproduksi mampu mengatasi, sepanjang tidak keburu timbul fenomena 1 dan 2. Dalam arti sapi masih fertil menunjukkan gejala birahi yang baik dan di IB sesuai prosedur sebagaimana mestinya. Adapun caranya adalah sbb. Pada hari ketujuh (hari ke 0 birahi di IB) embrio yang telah jadi (morula, blastosis) dikeluarkan dengan metode flushing. Embrio yang diperoleh selanjutnya ditransfer ke sapi lain (sapi resipien) yang produksi rendah atau sapi potong lokal sekalipun. Sapi produksi tinggi (sapi donor) tidak bunting, tetapi mempunyai anak keturunan yang nota bene juga super genetik dikandung dan dilahirkan oleh sapi resipien. Sehingga sapi donor tidak bunting, tetapi berkembang biak. Lebih dari itu jumlah anak keturunannya menjadi lebih banyak dalam waktu singkat.
Kalau dalam satu siklus birahi (kira-kira 21 hari) diperoleh satu embrio menjadi seekor anak/pedet, maka dalam satu tahun 365 hari dibagi 21 hari dikali satu embrio akan diperoleh kira-kira 18 embrio atau identik 18 ekor pedet. Pada fenomena 1 dan 2 dapat diatasi dengan bioteknologi reproduksi generasi lebih tinggi yaitu kloning. Sementara ini biotekrep kloning belum terkuasai oleh SDM kita. Bahkan lebih dari itu produksi embrio kembar identik melalui spliting juga belum ada tanda-tanda berkembang minimal di institusi terapan/aplikasi ditempat saya bekerja. Saya belum tahu bagaimana kondisi di institusi peneliti dan akademisi dalam mengadopsi inovasi bioteknologi reproduksi ini. Dalam kesempatan ini saya ingin mengajak rekanrekan sejawat, sudilah kiranya memikirkan hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar